Tangga Cahaya…
Di mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga.
Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya– namun, sesuai dengan
pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran
yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun,
menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).
Untuk
mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu
neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah,
berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan
berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan
pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu
menikmati dunia ini.
Tetapi,
sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu
orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan
kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah
kekuatan atau keanehan.
Sebentar,
sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit
ihwal semua ini.
Awalnya,
seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku
habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter,
dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint,
kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu,
panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat
dan tubuhku segar kembali.
Akan tetapi,
baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku,
pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung
karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku
menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu.
Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda
tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena
dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia
senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni…
Ketika
mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ”Capek, kurang tidur,” begitu
jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan
cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran
mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi,
karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk
sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu.
Seminggu
sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika
kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya
bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari
atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan… aku tak tahu di mana tangga itu
berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan
kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku
duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik.
Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga
cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.
***
Sejak itu,
aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala
aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa
kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.
Maaf, bukan
maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa
kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku
tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan
aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa
menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali
kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya.
Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.
***
Seperti
kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak
tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam,
berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan.
Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh.
Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku.
Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada
siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin
memiliki ”kata” sebagai wakilnya. Dan ”kata”’, sungguh bukan sesuatu yang
benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.
***
Suatu kali,
entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang.
”Untuk apa,
ya?”
”Begini. Saya
hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak
tahu,” ucapnya dingin, tetapi memaksa itu.
Kupandangi
beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.
”Tapi…
malam-malam begini?”
”Ini
penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.”
Hmm.. kata
”diperintah” ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang
hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.
Dan beberapa
saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya
laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu.
Wajah mereka
pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu
yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ”perintah” itu gagal dilaksanakan?
Dugaanku
benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ”pemerintah” yang minta ampun besar
dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap.
Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan
keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.
”Saya dengar
Anda bisa meramalkan kematian?” begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu,
begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan.
”Yang bilang
begitu siapa, Pak?”
”Lho, jadi
untuk apa saya undang Anda malam ini…”
”Yaa… maaf,
Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.”
”Hahahaha…nanti
dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha…”
Kusaksikan
seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya.
Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?
”Begini.
Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?”
”Bapak
mendengar dari siapa?”
”Tak ada
asap jika tak ada api.”
Aku terdiam.
Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup
dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya
keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu
menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual,
mendengar bualan manusia ini.
”Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?”
Kutatap saja
wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja
kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.
”Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok,
saya lupa.. Mmm…siapa, siapa?” tanyanya sambil memejamkan mata
sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.
”Abimanyu,
anak Arjuna…’
”Yaaaa… Tapi
itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?” ucapnya setengah
berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.
Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari
bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan
melayang ke wajahnya yang dungu itu.
”Tapi
Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,” jawabku dingin.
Dia terdiam,
mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.
”Jadi, Anda
memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi…” setelah agak lama dia
terdiam, ”seperti itukah kematian saya?”
Sungguh, aku
berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan
terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.
”Pak, saya
tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang…”
”Bagaimana
jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda
kematian orang itu?”
”Pak, maaf,
saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.”
”Bukankah
kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran… Hah?
hahahahahaaa…Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa
memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha…”
***
Bulan
Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas.
Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan
sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah
gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah
mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang
menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang
manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya
segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?
Dan demi
kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi.
Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara
wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah
apalagi. Segera kuraih remote.
Tetapi,
sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap
sesuatu.
Di kepala
mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah… kilatan cahaya berwarna-warni
mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka
masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu.
Air mataku
tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh
tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona,
memukau, menyihirku.
***
Sudahlah, di
mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga
cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha
Pencipta.